Oleh : Junaedi Ghazali
Dalam sambutan yang diberikan oleh miss Anna, sang pelopor kursusan ini, beliau menyatakan bahwa sudah lama sebenarnya ingin mendirikan lembaga kursus Bahasa Inggris. Bahkan sejak kuliah S1 semester 2. Sekarang beliau kuliah S2 setelah mengajar selama 14 tahun di sebuah sekolah di Malang. Selain itu beliau juga menyampaikan bahwa cita-cita yang lainnya adalah tetap mampu memberikan pendidikan yang terjangkau tanpa harus mengurangi kualitas. Dengan berbekal pengalaman, keberanian dan dukungan dari banyak teman Eager Beaver kemudian berdiri.
Sambil makan tumpengan yang disediakan, saya sempat mengobrol dengan beberapa teman yang diundang. Kebanyakan teman-teman komunitas, mahasiswa dan juga salah satu staff English Native. Kebanyakan dari mereka siap mendukung, dengan cara ikutan atau menyebarluaskan. Lumayanlah, promosi gratis. Lebih efektif daripada nyebar poster dimana-mana.
Saya sendiri cukup salut dengan keberanian Miss Anna. Di tengah kota pusat pendidikan, tidak sulit rasanya jika kemudian beliau mematok tarif yang "lumayan" untuk mengisi kantong. Tapi ternyata beliau berfikir berbeda. Masih ada ruang yang beliau sisihkan untuk teman-teman yang mungkin untuk kebutuhan harian saja masih pikir-pikir. Beliau mampu menghidupkan anggapan bahwa pendidikan tak harus mahal.
Menyaksikan apa yang beliau lakukan dan membandingkan dengan lembaga pendidikan semacam sekolah formal saat ini cukup membuat hati merasa miris. Banyak orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan kemudian justru menjadikannya sebagai lumbung uang. Memang, pemerintah gencar mengkampanyekan wajib belajar dan biaya pendidikan gratis. Tapi dalam pelaksanaannya, orang-orang ini selalu mendapat celah untuk tetap menguras uang dari kantong-kantong orangtua, entah bagaimana caranya. Entah itu sumbangan pembangunan, buku, baju seragam dll.
Saya tidak mengatakan bahwa cara itu tidak pantas. Kita mungkin cukup tahu bagaimana keadaan kebanyakan guru di negri ini. Untuk hidup sebulan saja harus pontang-panting kesana-kemari mencari tambahan uang makan. Hanya saja, hal itu tidak akan terjadi jika pemerintah dan juga masyarakat sadar akan arti pendidikan. Bukan hanya sekedar belajar dan kemudian nilai keluar. Kalau itu saja tujuannya, semua juga bisa. Tinggal datang ke kantor dinas pendidikan, setor uang, Ijazah keluar.
Janji pemerintah untuk menganggarkan lebih dari APBN untuk disalurkan ke bidang pendidikan, ternyata kemudian ditanggapi lain oleh orang-orang yang sengaja mencari peluang. Setiap ada proyek, anggaran dilebihkan. Gaji para guru dipotong sana-sini. Efeknya, kesejahteraan guru hilang. Fasilitas yang diberikan terbatas. Murid kemudian tak mendapat input yang berarti karena gurunya tak menguasai dan juga mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Apa yang ada di buku, itulah yang diajarkan. Guru-guru tak sempat mencari tambahan ilmu dan juga mengevaluasi hasil mengajarnya secara maksimal.
Orang tua yang khawatir kelak anaknya tak lulus ujian karena kualitas mengajar gurunya meragukan, kemudian rela menginvestasikan uangnya ke lembaga-lembaga luar sekolah. Alih-alih duduk tenang mendengarkan guru les mengajar, murid-murid justru sekedar titip absen dan kemudian cabut entah kemana. Karena orientasinya memang uang, guru-guru les ini banyak yang tak ambil peduli.
Selain itu, tidak adanya pondasi yang cukup matang mengenai pendidikan di masyarakat, membuat banyak orang tak cukup peduli jika kemudian ada fenomena semacam murid bolos sekolah, tawuran antar pelajar, atau tindakan kriminal. Mereka sekedar memaki dan kemudian sudah. Tak ada upaya berarti seperti mencoba untuk sekedar menegur atau bertanya. Ketidak pedulian ini kemudian membuat banyak siswa merasa imun jika kemudian di sekolah dan di rumah ada yang meributkan soal absen yang banyak kosongnya.
Dari sekian persoalan yang saya sebutkan di atas, bisa diperkirakan berapa banyak kerugian baik secara materi, maupun immateriil. Di saat banyak orang berusaha untuk tetap sekolah dan kemudian putus asa karena tidak adanya dukungan dari sesama, kita melihat secara terang-terangan upaya pemborosan dan juga penghancuran tujuan dari pendidikan. Maka tak heran jika banyak yang menyangsikan fungsi pendidikan. Maka adalah sesuatu yang wajar jika kemudian semakin banyak orang yang menjadikan anaknya sebagai mesin penghasil uang ketimbang pribadi yang lebih bernilai dan berarti.
Salah satu dosen saya pernah mengatakan, pendidikan bukan hanya soal mengajar dan kemudian keluar ruang. Pendidikan mempunyai lebih. Ia mampu membuat seseorang sadar bahwa setiap orang memiliki peran dan juga nilai. Dari situ, kemudian akan tumbuh sistem dimana satu sama lain saling menopang dan berkembang. Bukan hanya sekedar ada dan kemudian menguntungkan diri sendiri sementara yang lain tetap sengsara. Kalau sampai pendidikan hanya sekedar menjadi alat mencari uang, mendingan tak usah ada sekolah. Masih banyak tempat yang mampu menyediakan ilmu mencari uang.
Apa yang beliau katakan, sebenarnya bisa saja terjadi. Belajar bukan hanya sekedar datang, duduk, diam di kelas. Mengajar bukan juga sekedar datang, memberi tugas, kemudian pulang. Masing-masing manusia mampu belajar dan mengajar. Hanya saja caranya berbeda. Dari situlah kemudian pendidikan mampu berjalan. Saling mengamati, berbagi dan menyediakan ruang untuk aplikasi. Satu sama lain saling manjaga dan memberikan apa yang dibutuhkan.Tak harus uang sebagai ukuran. Dan kalau uang bukan lagi ukuran, maka bukan tak mungkin jika pendidikan murah berkualitas apat dilakukan. Asal saling percaya dan mau memberikan apa yang kita punya. Cukup utopis sepertinya. Tapi kalau tak ada yang memulai, siapa lagi?
ps: penulis bukan tenaga pengajar Eager Beaver
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !